Aceh sudah dikenal hampir keseluruh pelosok negeri, tidak hanya dikenal oleh negara-negara islam saat itu, seperti Turki, Arab Saudi, dan lainnya. Namun dinegara non muslim jugalah demikian, kita bisa lihat sejarah dimana Belanda, Inggris, Portugis, dan wilayah Eropa lainnya yang pernah menjajah aceh termasuk catatan sejarha yang membuktikan bahwa Aceh sudah dikenal hampir keseluruh dunia. Masa kerajaan dahulu, dimana menurut para ahli sejarawan mengatakan bahw hubungan dagang antara Aceh dengan negri luar sangatlah erat. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa dahulu sebelum hadirnya Amerika dan Portugis menjadi negeri penjajah kedua negri ini adalah negri sahabat bagi aceh. Namun karena masuknya pihak ke-3 yang tidak suka dengan jalur gemilang dagang ini terjadi maka mereka menciptakan politik pecah belah antar negara ini hingga terjadilah perang.
Namun, tahukah antum, bahwa jauh sebelumnya Aceh sudah dikenal di negeri timur seluruhnya, di masa Khalifah Umar bin Khattab pun Aceh sudah dikenal bahkan jauh lagi, yaitu pada masa Rasulullah Muhammad SAW. (baca artikel : Inilah Bukti Bahwa Rasulullah Pernah Menyebut Nama Aceh) . Selain itu, yang membuat Aceh lebih dikenal dinegri timur kala itu adalah kedatangan seorang ulama dan ahli Geografi Muslim dunia ke negeri Serambi Mekkah ini.
Ia adalah seorang yang bernama Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Thanji, atau lebih terkenal dengan nama Ibnu Bathutah. Ia lahir di Tengger (Tanggier, Thanja-Maloki) di bibir Selat Giblatar, pada tahun 1304 M.
Ia adalah seorang yang bernama Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdullah bin Muhammad bin Ibrahim At-Thanji, atau lebih terkenal dengan nama Ibnu Bathutah. Ia lahir di Tengger (Tanggier, Thanja-Maloki) di bibir Selat Giblatar, pada tahun 1304 M.
Dia seorang musafir Islam yang dikenal banyak mengadakan perjalanan pada abad pertengahan. Tidak kurang 30 tahun lamanya (tahun 1325) beliau mengadakan beberapa perjalanan yang tercatat. Catatanya itu telah ditulisnya dalam bukunya yang berjudul “Tuhfatun Nadh fii Gharabil Amshar” (Hasil pengamatan menjelajahi negri-negri asing). Beliau meninggal pada usia 76 tahun (sekitar tahun 1380 M) dan bukunya diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa. Ibnu Batutah telah mulai berlayar sudah sangat lama, bahkan sebelum hadir seorang penjelajah italia Mrcopolo pada tahun 1324.
Dalam perjalanan ke Tiongkok, Ibnu Bathutah 2 kali singgah di Indonesia, sekali ketika berangkat dan sekali ketika pulang dari Tiongkok. Ketika singgah ke Indonesia, yakni di kerajaan Pasai pada tahun 1345 M, ia sangat terkesan dan kagum menyaksikan perkembangan Islam ke Pasai. Pada waktu kapal layarnya memasuki pelabuhan Aceh dan setelah selesai diperiksan oleh pembesar pribumi ia diizinkan mendarat. Sementara itu kedatangan Ibnu Bathutah telah diberitahukan kepada sultan. Beliau dijemput ileh utusan sultan, qadhi dan ulama-ulama lain. Untuk penjemputannya disediakan kuda khusus dari sultan.
Ibnu bathutah sangat mengagumi Raja Pasai yang memerintah ketika itu, yakni Al-Malik Az-Zahir, seorang raja yang sangat alim dan bermazhab Syafi’i. hingga Ibnu Bathutah pernah menyampaikan kesannya, bahwa bila dibandingkan dengan raja-raja Islam yang pernah ia kunjungi, baik di Hindustan, Turkistan dan Bukhara, bahkan Mesir sekalipun, maka raja Jawa (yang dimaksud raja Pasai) adalah raja yang paling alim dengan ilmunya yang sangat mendalam.
Ketika ibnu Bathutah singgah di kerajaan Pasai, beliau laporkan sebagai berikut :
“Kemudian saya masuk menghadap sultan. Di samping baginda saya bertemu Qadhi Amir Rasyid, sedangkan para penuntut ilmu ilmu duduk di sebelah kanan dan kiri baginda. Saya dipersilahkan duduk duduk disebelah kirinya. Raja menanyakan kepada saya tentang sultan Muhammad dan penjelasan saya, semuanya saya jawab. Kemudian baginda pun meneruskan muzakarahnya tentang ilmu fikih Mazhab Syafi’I sampai waktu ‘Ashar. Selesai salat ‘Ashar baginda pun masuk ke sebelah rumah di situ, ditanggalkannya pakaian Fuqaha atau ahli Fiqih, yaitu pakaian yang biasa dipakainya ke masjid pada hari Jum’at dengan berjalan kaki. Kemudian dipakainya kembali pakaian resminya sebagai raja yang terbuat dari sutra dan katun.
Ibnu Bathutah tidak menerangkan bahwa selama pembicaraannya itu melalui penterjemah, seperti yang dilakukannya di tempat-tempat lain ketika berbicara dengan seorang raja asing. Itu menjadi suatu pertanda, bahwa sultan Malik Az-Zahir yang memerintah Pasai dewasa itu fasih berbahasa Arab.
Sumber :
Buku Ayah Kami (Abuya Prof. Dr. Tgk. H. Muhibbuddin Waly)
Thanks for reading & sharing Muslim Atjeh
0 komentar:
Post a Comment