Banyak diantara kita bertanya-tanya, apakah niat puasa yang selama ini kita dengar ada dalilnya ? Atau apakah para imam Mazhab mengajarkannya ? Contoh seperti niat :
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى
"Sengaja aku niat puasa pada esok hari tahun ini tunai Fardu karena Allah SWT".
Banyak diantara kita yang tidak memakai cara niat puasa seperti diatas, alasannya adalah karena nabi tidak mengajarinya ? Dan para imam Mazhab juga tidak mengajarinya. Sama seperti gambar yang telah beredar di media dibawah ini :
Namun apakah benar demikian ?
Sebenarnya apa yang kita lakukan didunia ini dalam hal ibadah telah nabi sebutkan semuanya. Namun adakalanya beliau menyebutkan suatu hukum itu secara umum yang hanya menyebutkan satu lafadz namun mengandung banyak makna dan ada kalanya beliau menyebutkan satu lafadz hanya mengandung satu makna. Sama seperti niat, ada banyak hadist yang menerangkan tentang niat. Segala ibadah yang kita lakukan tergantung pada niat. Jika niat kita bagus maka ibadah akan bagus dan jika niat kita rusak maka niat kita juga akan rusak. Sama sepertimana yang telah dijelaskan oleh beliau dalam hadistnya sebagai berikut :
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الْوَهَّابِ قَالَ سَمِعْتُ يَحْيَى بْنَ سَعِيدٍ يَقُولُ أَخْبَرَنِي مُحَمَّدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ أَنَّهُ سَمِعَ عَلْقَمَةَ بْنَ وَقَّاصٍ اللَّيْثِيَّ يَقُولُ سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّةِ وَإِنَّمَا لِامْرِئٍ مَا نَوَى فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى دُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَتَزَوَّجُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Qutaibah bin Sa’id telah menyampaikan hadits pada kami. Abd al-Wahab memberitakan pada kami. Dia berkata: Saya mendengar yahya bin Sa’id yang mengatakan: Muhammad bin ibrahim telah memberitahu bahwa ia mendengar Alqamah bin Waqas al-Laytsi berkata: Aku mendengar Umar bin al-Khathab berkata: Saya dengar rasul SAW bersabda: Sesungguhnya amal itu dengan niyat. Sesungguhnya bagi setiap orang tergantung pada yang ia niatkan. Barangsiapa yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya pada Allah dan rasul-Nya. Barangsiapa yang hijrahnya untuk kepentingan dunia, atau yang hijrahnya karena wanita yang ingin ia nikahi, maka hijrahnya sesuai dengan apa yang harapkannya.”
Dilain hadist nabi pernah bersabda :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ صَخْرٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : إِنَّ اللَّهَ لاَ يَنْظُرُ إِلَى أَجْسَامِكُمْ وَلاَ إِلَى صُوَ رِكُمْ ، وَلَكِنْ يَنْظُرُ إِلَى قُلُوبِكُمْ
“Diriwayatkan dari Abu Hurairah Abdirrahman bin Syahrin radhiyallahu ‘anhu, ‘Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada tubuh kalian dan tidak pula kepada rupa kalian, tetapi Dia melihat kepada hati kalian.” (Diriwalatkan Muslim)
Intinya niat ibadah itu tergantung pada niat, Allah melihat ibadah dan apapun yang kita lakukan didalamnya adalah pada niat didalam hati. Amal tergantung niat, jika niat bagus maka akan bagus pula amalnya demikianlah sebaliknya. Namun apakah pada puasa Rasulullah menyuruh kita berniat ?. Didalam beberapa kitab, seperti Mukhtarul AlHadist, Sabilal Muhtadin, I'anatut Thalibin, Matlaul badrain dan beberapa kitab hadist lainnya menyebutkan bahwa hadist tentang puasa juga disebutkan oleh Nabi :
مَنْ لَمْ يُبَيِّتْ الصِّيَامَ قَبْلَ الْفَجْرِ فَلَا صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang belum berniat di malam hari sebelum Shubuh, maka tidak ada puasa untuknya.” (HR. An Nasai no. 2333, Ibnu Majah no. 1700 dan Abu Daud no. 2454. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if. Syaikh Al Albani menshahihkan hadits ini).
Kata يُبَيِّتْ diartikan sebagai niat. Lafadz نِيٙة dan يُبَيِّتْ adalah sama. Dalam bahasa balagah kedua lafadz ini disebut Siyaq Kalam, yaitu banyak lafadz satu makna. Tapi bukan disini pembahasan kita, tapi apakah nabi mengajarkan tata cara niat puasa, Seperti mana yang ada diatas ?
Jawabannya bahwa nabi mengajarkannya, selain itu para sahabat dan ulama menambahkannya. Contoh, coba perhatikan pada hadist dibawah ini :
عَنْ عَائِشَةَ – رضى الله عنها – قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا دَخَلَ عَلَىَّ قَالَ « هَلْ عِنْدَكُمْ طَعَامٌ ». فَإِذَا قُلْنَا لاَ قَالَ « إِنِّى صَائِمٌ »
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menemuiku lalu ia berkata, “Apakah kalian memiliki makanan?” Jika kami jawab tidak, maka beliau berkata, “Kalau begitu aku puasa.” (HR. Muslim no. 1154 dan Abu Daud no. 2455).
Pada isi hadist diatas terdapat kata إِنِّى صَائِمٌ artinya "sesungguhnya saya (niat) puasa". Ada alasan mengapa nabi menyebut kata "saya puasa", pertama nabi memberi tahu bahwa beliau ingin berpuasa. Kedua, beliau berniat. ketiga kata ini menjadi hukum. 3 alasan ini memberi tahu kepada kita bahwa niat puasa harus di tayinkan (di gambarkan) dalam hati. Niat terletak pada hati dan perlu ada gambaran niat pada hati. Sama seperti makan, mengapa kita ingin makan karena ada niat (kemauan, gambaran, keinginan) yang telah tergambarkan dalam hati. Inilah yang membedakan kita dengan orang yang hilang akal. Jika kita sehat akal maka niat harus digambarkan dalam hati lain halnya orang gila.
Maka disini kita sudah mengetahui bahwa niat itu adalah harus digambarkan dalam hati. Tapi apakah melalui lafadz di anjurkan, para ulama Mazhab menyunnahkannya tapi yang wajib pada hati. Sepertimana dijelaskan oleh mayoritas Mazhab syafii berikut :
لَا يَصِحُّ الصَّوْمَ إِلَّا بِالنِّيَّةِ وَمَحَلُّهَا القَلْبُ وَلَا يُشْتَرَطُ النُّطْقُ بِلاَ خِلَافٍ
“Tidaklah sah puasa seseorang kecuali dengan niat. Letak niat adalah dalam hati, tidak disyaratkan untuk diucapkan dan pendapat ini tidak terdapat perselisihan di antara para ulama.” (Rowdhotuth Tholibin, I/268, Mawqi’ul Waroq-Maktabah Syamilah).
Lalu darimana asal niat :
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ عَنْ اَدَاءِ فَرْضِ شَهْرِ رَمَضَانَ هذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى
"Sengaja aku niat puasa pada esok hari tahun ini tunai Fardu karena Allah SWT".
Jawabannya ada pada imam Mazhab. Merekalah yang menggali semua hukum Islam yang belum ditentukan secara rinci dalam bidang hukum oleh nabi kita. Beliau beliau inilah yang hingga hari ini kita dapat mengetahui nama nama hukum seperti Wajib, Sunnah, makruh dan haram. Sama seperti niat sembahyang, niat haji, niat zakat, dan niat puasa. Semuanya ini tidak ada didalam Al-Quran dan hadist. Tapi hukum hukum semacam ini dirincikan oleh para ulama, tentunya dengan berbagai macam metode penggalian hukum Islam yang mereka lakukan.
Mengenai niat puasa diatas, sebenarnya jika kita niat hanya menyebut "Saya puasa Ramdhan" sudah cukup dan sah. Tidak memakai tahun ini, esok hari, karena Allah. Dengan niat diatas sudah cukup. Kenapa demikian, karena para ulama Mazhab sepakat bahwa niat harus diyakinkan atau digambarkan. Jika tidak maka niat pada suatu ibadah bisa tidak sah. Seperti ia niat puasa saja dengan kata "puasa". Hal ini tidak sah, karena ia hanya berniat puasa. Puasa apa ? Puasa Sunnah, atau puasa wajib. Maka disini ulama mengatakan bahwa niat harus disebutkan Qasad, yaitu maksud sadar ia niat. Kemudian di tayinkan yaitu niat puasa apa . Hal ini wajib karena kembali pada hadist tentang niat diatas. Mengenai hal ini bisa dilihat didalam kitab "FIQHUL ISLAM WA ADILLATUHU, karya Syeikh Wahbah Az-Zuhaili cetakan Darul Fiqri, halaman 1675 sd 1678.
Didalam sana terdapat banyak pendapat ulama Mazhab mengenai niat dalam puasa . Termasuk sepakatnya para Mazhab bahwa segala niat termasuk puasa harus ditayinkan.
Maka disini kita sudah mengetahui bahwa niat puasa sebenarnya telah diajarkan oleh nabi yang seterusnya dikembangkan oleh Para ulama.
Disini lah pentingnya ulama. Jika kita berhukum hanya kepada Alquran dan Nabi maka hidup kita miskin. Karena dikehidupan kita saat ini hampir seluruhnya tidak ada dimasa nabi. Sepertinya masjid, mushalla, buku, kitab, bahkan model adzan juga beda, termasuk Alquran. Dimasa nabi Alquran tidak bertitik, harakat, berlapik atau bersampul bahkan tulisannya juga berbeda.
Itulah sebabnya mengapa Rasulullah sangat memuji para ulama, karena ulama itu adalah pewaris para nabi. Arti pewaris adalah sambungan Lisan nabi dalam dakwah dan ilmu. Sebagaimana yang dijelaskan oleh nabi dalam hadistnya :
لقَمَرِ لَيْلَةَ البَدْرِ عَلىَ سَائِرِ الكَوَاكِبِ
Nabi SAW bersabda: “Keutamaan seorang alim atas ahli ibadah bagaikan keutamaan bulan di malam purnama atas seluruh bintang-bintang.” (Kitab Lubabul Hadits)
فَضْلُ العَالِمِ عَلَى العَابِدِ كَفَضْلِي عَلَى أُمَّتِي :وفي رواية للحارث بن أبي أسامة عن أبي سعيد الخدري عنه صلى الله عليه وسلم
Dalam satu riwayat Al Harits bin Abu Usanah dari Sa’id Al Khudri ra. dari Nabi SAW bersabda : “Keutamaan seorang alim atas ahli ibadah bagaikan keutamaanku atas umatku.” (Kitab Tanqihul Qaul)
وقال صلى الله عليه وسلم: من نظر إلى وجه العالم نظرة ففرح بها خلق الله تعالى من تلك النظرة ملكا يستغفر له إلى يوم القيامة
Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa memandang wajah orang alim dengan satu pandangan lalu ia merasa senang dengannya, maka Allah Ta’ala menciptakan malaikat dari pandangan itu dan memohonkan ampun kepadanya sampai hari kiamat.” (Kitab Lubabul Hadits)
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: من أكرم عالما فقد أكرمني، ومن أكرمني فقد أكرم الله، ومن أكرم الله فمأواه الجنة
Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa memuliakan orang alim maka ia memuliakan aku, barangsiapa memuliakan aku maka ia memuliakan Allah, dan barangsiapa memuliakan Allah maka tempat kembalinya adalah surga.” (Kitab Lubabul Hadits)
رواه الخطيب البغدادي عن جابر .أكْرِمُوا العُلَمَاءَ فإنَّهُمْ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ، فَمَنْ أكرَمَهُمْ فَقَدْ أَكْرَمَ الله وَرَسُولَهُ :وقال صلى الله عليه وسلم
Nabi SAW bersabda : “Hendaknya kamu semua memuliakan para ulama, karena mereka itu adalah pewaris para Nabi, maka barangsiapa memuliakan mereka berarti memuliakan Allah dan Rasul-Nya.” (HR. Al Khatib Al Baghdadi dari Jabir ra., Kitab Tanqihul Qaul)
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: نَوْمُ العَالِمِ أَفْضَلُ مِنْ عِبَادَةِ الجَاهِلِ
Nabi SAW bersabda : “Tidurnya orang alim itu lebih utama daripada ibadah orang bodoh.” (Kitab Lubabul Hadits)
وقال النبي صلى الله عليه وسلم: مَنْ زَارَ عَالِمًا فَكَأَنَمَّا زَارَنِي، وَمَنْ صَافَحَ عَالِمًا فَكَأَنَّما صَافَحَنِي، وَمَنْ جَالَسَ عَالِمًا فَكَأَنَّما جَالَسَنِي في الدُّنْيَا، وَمَنْ جَالَسَنِي في الدُّنْيَا أَجْلَسْتُهُ مَعِيْ يَوْمَ القِيَامَةِ
Nabi SAW bersabda : “Barangsiapa mengunjungi orang alim maka ia seperti mengunjungi aku, barangsiapa berjabat tangan kepada orang alim ia seperti berjabat tangan denganku, barangsiapa duduk bersama orang alim maka ia seperti duduk denganku didunia, dan barangsiapa yang duduk bersamaku didunia maka aku mendudukkanya pada hari kiamat bersamaku.” (Kitab Lubabul Hadits)
Inilah jawaban dari pertanyaan bahwa apakah niat puasa diajarkan oleh Rasulullah ? Semoga jawaban singkat dan terbatas ini dapat membantu.
Sumber :
Artikel Tgk. Habibie M Waly S.TH
Thanks for reading & sharing Muslim Atjeh
0 komentar:
Post a Comment